SOLO – Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) kembali menggelar Kajian Tarjih Online dengan tema “Aurat dan Jilbab Menurut Fatwa Tarjih”, Selasa (28/5/2025). Kajian ini menghadirkan narasumber Dr. Mahasri Shobahiya, M.Ag., yang membahas secara mendalam dasar-dasar syar’i dan pandangan Majelis Tarjih Muhammadiyah mengenai batas aurat dan kewajiban berjilbab bagi perempuan Muslim.
Dalam pemaparannya, Dr. Mahasri Shobahiya, M.Ag., menjelaskan bahwa fatwa mengenai aurat dan jilbab ini bermula dari sebuah pertanyaan yang dimuat dalam Suara Muhammadiyah No. 18 tahun 2003, yang kemudian ditetapkan menjadi fatwa resmi dalam buku Tanya Jawab Agama Jilid 7 terbitan Majelis Tarjih dan Tajdid (MTT) Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah.
Kajian tersebut mengulas dua ayat utama yang menjadi dasar hukum menutup aurat, yakni Surah An-Nur ayat 31 dan Surah Al-Ahzab ayat 59.
“Katakanlah kepada para perempuan yang beriman hendaklah mereka menjaga pandangannya, memelihara kemaluannya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali yang (biasa) terlihat. Hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya,” (QS. An-Nur: 31).
“Wahai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin supaya mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu agar mereka lebih mudah dikenali sehingga mereka tidak diganggu,” (QS. Al-Ahzab: 59).
Menurut Mahasri, kedua ayat tersebut menegaskan kewajiban menutup aurat bagi perempuan Muslim sebagai bentuk penjagaan kehormatan diri sekaligus identitas keislaman.
“Islam datang untuk melindungi dan memuliakan perempuan. Jilbab bukan sekadar simbol keagamaan, melainkan perintah ilahi yang bertujuan menjaga martabat,” ujarnya.
Dalam kajian bahasa, kata aurat diartikan sebagai segala sesuatu yang harus ditutupi atau sesuatu yang menimbulkan rasa malu apabila terlihat. Sedangkan secara istilah, aurat berarti bagian tubuh manusia yang wajib ditutupi dan haram dilihat oleh orang lain.
Adapun kata jilbab berasal dari akar kata jalbaba yang bermakna memakai baju kurung. Menurut penafsiran Al-Qurthubi, jilbab adalah pakaian yang menutupi seluruh tubuh, bukan sekadar penutup kepala.
Berdasarkan hal ini, Majelis Tarjih Muhammadiyah menyimpulkan bahwa jilbab adalah pakaian wanita yang terdiri dari kerudung dan baju kurung yang menutupi seluruh auratnya.
Mahasri juga menyinggung konteks historis turunnya ayat tentang jilbab.
“Pada masa awal Islam, banyak orang jahat yang kerap mengganggu perempuan karena mereka masih mengenakan pakaian harian ala jahiliyah. Maka, Islam memerintahkan kaum perempuan untuk mengenakan pakaian syar’i yang menutup aurat agar terjaga dari gangguan dan penghinaan sosial”, ujarnya.
Dalam hal bahan dan bentuk pakaian, Al-Qurthubi menegaskan bahwa pakaian penutup aurat hendaklah terbuat dari bahan yang tidak tembus pandang dan berbentuk longgar, sehingga tidak menonjolkan lekuk tubuh.
Lebih lanjut, Mahasri juga menjelaskan MTT yang menegaskan tentang perintah menutup aurat bersifat umum.
“Majelis Tarjih menegaskan bahwa perintah menutup aurat bersifat umum, tidak terbatas pada keluarga Nabi Muhammad atau masyarakat Arab saja, tetapi berlaku bagi seluruh umat Islam. Hal ini sejalan dengan makna universal dari ayat dalam Surah Al-Ahzab ayat 59”, jelasnya.
Terkait batas-batas aurat, Mahasri memaparkan pendapat para ulama:
- Para ulama bersepakat bahwa antara suami dan istri tidak ada batas aurat, sebagaimana disebut dalam QS. Al-Mu’minun ayat 6.
- Aurat laki-laki terhadap laki-laki lain adalah antara pusar hingga lutut.
- Aurat perempuan terhadap sesama perempuan menurut jumhur ulama sama dengan laki-laki terhadap laki-laki, yakni antara pusar dan lutut.
- Aurat laki-laki terhadap perempuan, baik mahram maupun bukan mahram, juga terbatas pada bagian antara pusar dan lutut.
- Adapun aurat perempuan terhadap laki-laki, menurut mazhab Syafi’i dan Hanbali adalah seluruh tubuh. Sementara menurut Imam Malik dan Abu Hanifah, seluruh tubuh perempuan adalah aurat kecuali wajah dan telapak tangan.
Berdasarkan kajian mendalam dan pertimbangan kontekstual, Majelis Tarjih Muhammadiyah mengambil kesimpulan bahwa pendapat yang paling kuat dan sesuai dengan kondisi perempuan Indonesia adalah bahwa aurat perempuan adalah seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan.
Namun demikian, Majelis Tarjih juga menegaskan tidak terlarang bagi siapa pun yang berpendapat bahwa aurat perempuan adalah seluruh tubuh, karena hal itu juga memiliki dasar kuat dalam khazanah fikih Islam.
Melalui kajian ini, diharapkan sivitas akademika UMS dan masyarakat luas semakin memahami bahwa ajaran menutup aurat adalah bagian dari sistem nilai Islam yang luhur, bukan sekadar aturan berpakaian, tetapi juga manifestasi kesadaran spiritual dan etika sosial.

0 Komentar