SOLO – Dunia kepenulisan bukan sekadar ruang ekspresi bagi Arif Yudhistira, S.Pd., melainkan jalan hidup yang membentuk cara berpikir, bekerja, hingga membuka berbagai kesempatan profesional.
Alumni UMS, Arif menceritakan perjalanan panjangnya menekuni dunia literasi sejak SMA, hingga karya-karyanya kini menghiasi berbagai media arus utama nasional. Perkenalannya dengan dunia cerita bermula dari guru SMP yang kerap mengisahkan hikayat 1001 Malam. Cerita-cerita itu ia tulis kembali dalam bentuk memo writing dan dijilid sederhana oleh tukang fotokopi di kampungnya.
“Tukang fotokopi bilang, ‘Mas, sampean hebat. Besok bisa jadi penulis besar.’ Saya hanya mengamini. Ternyata doa itu terkabul,” ucapnya, Senin (24/11/2025).
Arif mengaku masa SMA menjadi titik penting pertumbuhan minat menulisnya. Ia rutin ke perpustakaan tiap jam istirahat untuk membaca majalah sastra Horizon, mempelajari rubrik ulasan puisi, hingga memahami gaya-gaya para penyair besar. Masa remaja dan pengalaman personal juga banyak ia tuangkan dalam bentuk puisi.
Memasuki bangku kuliah, Arif menemukan lingkungan yang semakin memperkaya wawasan literernya. Ia bertemu para pegiat literasi; Joko Sumantri (Almarhum), Heri Priyatmoko, Bandung Mawardi, serta Haris Firdaus yang saat ini menjadi Kepala Harian Kompas DIY-Jateng (Kompas). Dari situlah ia aktif bergabung komunitas dan memperluas jejaring, termasuk di Komunitas Sastra Pawon yang terkenal di tingkat nasional.
“Waktu itu satu kos dengan para pembaca tekun. Rak bukunya sampai menyentuh langit-langit kamar. Saya mulai rajin pinjam buku, terutama karya-karya Sapi’ie Ma’arif. Meski awalnya tidak paham, saya paksakan khatam. Dari situlah semuanya berawal,” ujarnya.
Kegigihannya berbuah ketika tulisan pertamanya dimuat di rubrik “Curhat” Solopos, disusul rubrik Bahasa dan Mimbar Mahasiswa. Pengakuan itu mendorongnya terus mengasah kemampuan hingga akhirnya menembus berbagai media besar seperti Jawa Pos, Media Indonesia, Kompas, hingga Tempo.
Menurut Arif, setiap tulisan memiliki jalannya sendiri. “Saya pernah kirim liputan ke Media Indonesia dan dimuat secara nasional. Saat jadi kepala sekolah di SMK Citra Merdeka Soekarno, tulisan saya dimuat Tempo. Semua berjalan natural dan mengejutkan,” ungkapnya.
Ia juga pernah menjadi pemenang kompetisi penulisan Penerbit Kanisius, hingga karyanya masuk dalam salah satu buku bertema pendidikan.
Ditanya tentang konsistensi dalam menulis, Arif menyampaikan bahwa motivasinya bukan sekadar passion, tetapi dua hal: kebutuhan pengetahuan dan kebutuhan material.
“Selama kita merasa masih kurang pengetahuan, kita butuh membaca dan menulis. Itu menjadi kebutuhan intelektual. Yang kedua, kebutuhan material. Dulu waktu kuliah, satu tulisan bisa dibayar Rp150 ribu oleh UMS. Sebulan empat tulisan sudah cukup buat hidup,” jelasnya.
Arif menceritakan masa-masa kuliah yang penuh perjuangan. Ia datang dari desa dan membawa beras seminggu dari rumah. Untuk bertahan hidup, ia berjualan kerupuk ke warung-warung sekitar kampus sambil terus menulis.
“Kadang birokrat UMS ngira saya pemulung karena bawa bagor. Tapi dari nulis dan berdagang kerupuk itulah saya hidup,” tuturnya.
Kini, selain mengajar, Arif juga menulis untuk kementerian dan beberapa institusi. “Ada jejaring yang membutuhkan tulisan-tulisan analisis, terutama dalam bidang pendidikan,” tambahnya.
Arif juga membagikan salah satu pengalaman paling berkesan yaitu saat mengikuti pelatihan Institut Leimena yang mempertemukan guru-guru se-Indonesia. Berkat tulisannya yang menang pada kompetisi tersebut, Arif diundang ke Jakarta dan menginap di Hotel Indonesia.
“Itu pengalaman yang tidak pernah saya sangka. Semua berawal dari menulis,” ungkapnya.
Kini, Arif fokus menulis tema pendidikan, keislaman, dan sosial. Ia sedang menyelesaikan draft buku tentang pendidikan pesantren yang direncanakan diterbitkan oleh penerbit mayor.
“Menulis membawa saya ke banyak tempat yang tidak pernah saya bayangkan. Dan saya yakin setiap tulisan punya takdirnya sendiri,” tutupnya.

0 Komentar