SOLO – Amerika Serikat (AS)
mengkritik kebijakan Bank Indonesia (BI) terkait sistem pembayaran digital
nasional QRIS (Quick Response Code Indonesian Standard). Kritikan ini bahkan menjadi
sorotan internasional.
Kebijakan ini mewajibkan
seluruh penyedia layanan pembayaran di Indonesia, termasuk perusahaan asing,
untuk mengadopsi sistem QRIS. Sedangkan kritik Amerika Serikat disampaikan
dalam laporan Special 301 Report oleh USTR (United States Trade
Representative), yang menganggap kebijakan ini menghambat akses perusahaan
besar, seperti Visa dan Mastercard ke pasar Indonesia.
Guru Besar Ilmu Manajemen
Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) Prof. Dr. Anton Agus Setyawan menilai protes
AS menunjukkan ketakutan terhadap kemajuan Indonesia dalam menguasai ekosistem
digital.
"Kritik ini tidak
hanya soal sistem pembayaran, tetapi lebih pada usaha Indonesia untuk
mengurangi ketergantungan pada perusahaan asing yang menguasai pasar pembayaran
digital dunia," kata Anton, Sabtu (3/5/2025).
QRIS yang diluncurkan oleh
Bank Indonesia pada 2019, ditujukan untuk menciptakan sistem pembayaran yang
terintegrasi antarberbagai penyedia layanan digital di Indonesia. Sistem
dirancang agar transaksi menjadi lebih efisien, transparan, dan inklusif,
terutama bagi masyarakat umum serta pelaku UMKM. QRIS ini juga membawa banyak
manfaat, khususnya bagi sektor ekonomi mikro dan kecil yang sebelumnya
mengalami kesulitan dalam mengakses sistem pembayaran digital yang lebih luas.
Pakar Ekonomi UMS ini menilai
bahwa protes Amerika Serikat terhadap QRIS mencerminkan kekhawatiran terhadap
potensi Indonesia dalam mendominasi ekosistem pembayaran digital di kawasan
Asia Tenggara. Meski pihak AS menyebut kebijakan Bank Indonesia sebagai
penghambat kompetisi dan berpotensi merugikan perusahaan asing, ia
mengungkapkan bahwa langkah tersebut justru merupakan strategi penting untuk
memperkuat fondasi ekonomi digital nasional.
"Kritik ini
mencerminkan kekhawatiran negara-negara besar terhadap kebangkitan
negara-negara berkembang yang mulai memiliki sistem pembayaran yang dapat
mengurangi ketergantungan pada infrastruktur internasional. Ini bukan
proteksionisme, melainkan upaya untuk meningkatkan inklusi keuangan dan
memberikan lebih banyak kesempatan kepada pelaku ekonomi lokal untuk
berpartisipasi dalam ekonomi digital,” ujarnya.
Kritik AS yang menyebutkan
ketidakadilan terhadap perusahaan asing, seperti Visa dan Mastercard, mencerminkan
ketegangan antara globalisasi ekonomi dan upaya negara-negara berkembang untuk
memperkuat kedaulatan ekonomi mereka. Ia melihat ini sebagai tanda bahwa
Indonesia sedang mengambil langkah berani dalam mengatur ekosistem pembayaran
digital di dalam negeri.
"Selama ini, banyak
negara berkembang yang terjebak dalam ketergantungan terhadap sistem pembayaran
internasional yang tidak selalu berpihak pada kepentingan ekonomi domestik.
QRIS memberikan ruang bagi Indonesia untuk merancang sistem yang lebih sesuai
dengan kebutuhan nasional, tanpa harus tergantung pada perusahaan asing,” jelasnya.
Salah satu poin yang
sangat ditekankan adalah pentingnya kemandirian dalam mengelola data transaksi
digital. "Dengan adanya QRIS, Indonesia mulai memiliki kontrol yang lebih
besar terhadap data transaksi dan arus uang yang terjadi di dalam negeri. Ini
adalah langkah penting untuk menjaga keamanan data dan mengurangi risiko
kebocoran data ke pihak luar yang tidak terkontrol," tambahnya.
Menurut Anton, sistem
pembayaran digital berbasis QRIS tidak hanya menguntungkan
perusahaan-perusahaan besar, tetapi juga membuka akses yang lebih luas bagi
pelaku UMKM. Ia menilai bahwa banyak pelaku usaha kecil merasa terbantu karena
biaya transaksi melalui QRIS jauh lebih rendah dibandingkan sistem pembayaran
internasional.
Melihat potensi tersebut,
Anton menekankan pentingnya peran negara dalam memperkuat ekosistem ekonomi
digital. Ia menyoroti bahwa pemerintah perlu merumuskan regulasi yang tidak
hanya memperluas pemanfaatan QRIS, tetapi juga mendorong lahirnya
inovasi-inovasi baru dalam sektor keuangan digital yang inklusif dan
berkelanjutan.
Bagi Anton, protes AS
terhadap QRIS seharusnya tidak menjadi alasan untuk mundur. Sebaliknya, hal ini
harus menjadi dorongan bagi Indonesia untuk lebih memperkuat kebijakan ekonomi
digital yang berfokus pada kepentingan nasional.
"Kita harus terus
maju dengan kebijakan yang mendukung kedaulatan ekonomi digital, agar Indonesia
tidak hanya menjadi pasar, tetapi juga pemain aktif dalam ekonomi digital
global," pungkasnya.

0 Komentar