SOLO - Lebih dari dua dekade setelah reformasi bergulir, kondisi demokrasi di Indonesia dinilai masih belum mencapai tingkat penuh. Laporan Democracy Index 2024 yang dirilis Economic Intelligence Unit, Indonesia hanya memperoleh skor 6,44 dari 10 dan dikategorikan sebagai flawed democracy.
Skor ini mencerminkan pluralisme pemilu, kebebasan sipil, partisipasi politik, kultur demokrasi, dan fungsi pemerintahan. Sementara Regimes of the World Data (RoW) dari Varieties of Democracy Project (2024) bahkan mengklasifikasikan Indonesia sebagai ‘electoral autocracy’.
Dosen Fakultas Hukum dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) Muhammad RM Fayasy Failaq, S.H., M.H., menjelaskan arti dari klasifikasi tersebut, yaitu meskipun masyarakat memiliki hak untuk memilih, hak untuk berekspresi dan berserikat masih terbatas sehingga pemilu seringkali tidak bermakna, bebas ataupun adil.
“Demokrasi kita tidak pernah sampai penuh. Hak masyarakat seringkali terbatasi, dan ketika aspirasi disuarakan justru muncul represi hingga kriminalisasi,” jelas Fayasy Senin, (15/9/2025).
Ia mencontohkan sejumlah tokoh masyarakat sipil yang sempat ditangkap pascademonstrasi besar pada Agustus lalu. Memperingati ‘Hari Demokrasi Internasional’ yang jatuh setiap 15 September, Fayasy menyebut satu kunci demokrasi adalah partisipasi masyarakat. Namun dalam praktiknya, partisipasi tersebut belum berjalan secara bermakna, khususnya dalam proses pembuatan undang-undang.
“Beberapa regulasi terkesan dibuat tanpa melibatkan masyarakat secara penuh. Kasus paling menonjol adalah Undang-Undang Cipta Kerja, yang sejak awal minim partisipasi publik,” ungkapnya.
Fayasy menekankan bahwa partisipasi publik seharusnya tidak hanya sebatas keterlibatan kelompok tertentu, melainkan juga harus menjangkau ruang digital. Seperti masyarakat yang kini banyak menyuarakan pendapat melalui media sosial, maka dapat dipetakan tren dan kecenderungannya.
“Dalam RUU TNI misalnya, ada 44 ribu percakapan di media sosial. 80% di antaranya bernada kontra. Tren semacam ini harusnya bisa dijadikan indikator partisipasi digital,” tegasnya.
Sejalan dengan perkembangan teknologi, Fayasy menilai demokrasi Indonesia perlu mengakomodasi konsep demokrasi digital. Namun, ruang digital ini juga menghadapi ancaman serius, salah satunya melalui praktik yang disebut digitisida. Istilah itu, dikemukakan oleh Herlambang P. Wiratraman.
“Digitisida adalah bentuk ancaman terhadap kebebasan berpendapat di ruang digital. Ini bisa dilakukan oleh siapapun, bahkan penguasa dengan memanfaatkan sumber daya negara,” jelasnya.
Fayasy mencontohkan bagaimana pemerintah menggunakan influencer untuk menggiring opini publik, hingga ancaman pasal karet Undang-Undang ITE terhadap aktivis.
“Itu semua bentuk digitisida. Kebebasan berpendapat di dunia digital dipersempit melalui regulasi dan represi,” imbuhnya.
Selain ancaman eksternal, menurutnya masyarakat juga perlu memperkuat literasi digital. Masyarakat harus mampu membedakan informasi valid dan tidak valid.
"Tren positifnya, generasi muda kini semakin kritis dan memanfaatkan kanal digital untuk mengontrol kebijakan yang berpotensi diselewengkan,” kata Fayasy.
Sebagai bagian dari civitas akademika, Fayasy menilai Fakultas Hukum dan Ilmu Politik UMS memiliki peran strategis dalam mendidik masyarakat agar lebih memahami demokrasi yang sehat. Mahasiswa, dosen, hingga alumni dapat berkontribusi melalui riset, pengabdian, maupun aktivisme.
“Mahasiswa Hukum UMS pernah mengajukan uji formil RUU TNI ke Mahkamah Konstitusi. Sekalipun tidak diterima, ini menunjukkan partisipasi nyata mahasiswa dalam memperjuangkan demokrasi yang lebih responsif,” terangnya.
Selain itu, menurutnya program penyuluhan ke desa bisa diarahkan untuk mengenalkan praktik demokrasi partisipatif, misalnya dalam penyusunan peraturan desa (Perdes).
“Demokrasi harus ditanamkan sejak lingkup terkecil. Fakultas hukum bisa hadir untuk memberi contoh,” tambahnya.
Fayasy juga mengaitkan nilai-nilai Muhammadiyah dengan prinsip demokrasi. Menurutnya, semangat amar ma’ruf nahi munkar yang dipegang Muhammadiyah relevan dalam menjaga iklim demokrasi.
“Demokrasi adalah bagian dari amar ma’ruf, yaitu mendorong kebajikan melalui partisipasi rakyat. Sementara upaya mencegah otoritarianisme adalah bentuk nahi munkar. Jika kehidupan tidak demokratis, peluang penyalahgunaan kekuasaan dan korupsi akan semakin besar,” ujarnya.
Momentum Hari Demokrasi Internasional menurut Fayasy seharusnya menjadi pengingat bahwa demokrasi harus terus dijaga. Momen ini tidak sekadar seremoni, tetapi refleksi bersama agar Indonesia bisa naik tingkat dari demokrasi yang pincang menuju demokrasi penuh.
“Dengan adanya hari ini, kita diingatkan bahwa demokrasi itu penting. Harapannya Indonesia bisa memperbaiki diri, bukan justru mundur ke arah otoritarianisme,” pungkasnya.
0 Komentar