Akademisi UMS, Assoc. Prof. Zilhardi Idris, Ir., MT., DR. Foto: Ist.
SOLO - Pembangunan yang berkeadilan, bukan pembangunan yang mengulang ketimpangan. Begitu pesan tegas Assoc. Prof. Zilhardi Idris, Ir., MT., DR., akademisi Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) ketika menyoroti arah kebijakan transportasi nasional yang menurutnya masih berpusat di Pulau Jawa.
“Indonesia ini bukan hanya Jawa. Kalau infrastruktur terus dibangun di satu pulau, maka yang terjadi bukan kemajuan, tapi ketimpangan,” ujarnya, Jumat (17/10/2025).
Menurut Dosen Teknik Sipil Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) itu, pemerataan pembangunan transportasi adalah fondasi mobilitas ekonomi bangsa. Namun data berbicara lain. Indeks aksesibilitas Indonesia masih rendah, bahkan rasio panjang jalan terhadap luas wilayah masih berkisar 250 m per-kilometer persegi.
“Bayangkan, 1 km² wilayah kita bahkan belum punya seperempat kilometer jalan. Itu artinya ada daerah-daerah yang nyaris tidak tersentuh roda pembangunan,” tegasnya.
Zilhardi menyebut, angka indeks mobilitas nasional sangat rendah hal ini pertanda bahwa warga masih sulit bergerak, sementara konektivitas antar wilayah timpang. “Kalau aksesnya tertutup, ekonomi tidak jalan. Mobilitas rendah adalah sinyal stagnasi, bukan pembangunan,” katanya.
Ia mengkritik keras pola kebijakan pembangunan yang lebih berorientasi pada keinginan politik "transaksional" ketimbang kebutuhan publik.
“Kebijakan publik seharusnya menjawab kebutuhan rakyat, bukan ambisi kekuasaan. Kita sering membangun tanpa arah, dengan analisis kelayakan yang dangkal, tanpa memperhitungkan aspek sosial dan budaya,” ujarnya.
Kritik Zilhardi bukan tanpa dasar. Ia menilai proyek-proyek raksasa seperti Kereta Cepat Indonesia-China (KCIC) justru memperlihatkan bagaimana kebijakan bisa kehilangan arah.
“Badan usaha milik negara itu milik rakyat. Tapi sekarang justru jadi beban rakyat. Kalau BUMN terus disuntik APBN, artinya ada yang gagal dalam perencanaan,” katanya.
Lebih jauh, ia menyoroti lemahnya koordinasi antar lembaga negara. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS), Badan Pusat Statistik Indonesia (BPS), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) dan Kementerian Perhubungan disebutnya berjalan sendiri-sendiri tanpa arah sinergis.
“Kalau Bappenas diam, DPR pasif, dan data BPS tidak akurat, maka perencanaan nasional kehilangan nalar. Semua instrumen pemerintahan seharusnya bekerja kritis dan analis, bukan sekadar menyetujui,” ujarnya.
Dia menyinggung soal rendahnya daya kritis akademisi di ruang publik. Ia menilai banyak suara akademik yang memilih diam.
“Kita ini sering takut bersuara. Padahal tugas intelektual bukan menyenangkan penguasa, tapi menjaga nalar publik,” katanya.
Zilhardi menegaskan, arah pembangunan nasional semestinya berpijak pada tiga prioritas utama: pendidikan, kesehatan, dan transportasi yang adil dan terjangkau. Ketiganya, kata dia, adalah tanggung jawab negara yang tak boleh diserahkan pada pasar.
“Biaya transportasi kita mahal, mobilitas kita rendah, dan banyak wilayah terisolir. Maka pembangunan harus menjawab kebutuhan rakyat, bukan keinginan pemerintah yang sedang berkuasa,” tegasnya.
Ia menutup dengan kalimat yang menggema seperti peringatan moral bagi pengambil kebijakan “Yang memaksakan kebijakan yang tidak bijak harus bertanggung jawab. Kebijakan publik bukan eksperimen politik, tapi amanah rakyat,” tegasnya.
0 Komentar