
SOLO - Problematika dalam
pelaksanaan ibadah haji kontemporer seperti murur (melintas di Muzdalifah),
tanazul (turun ke hotel saat mabit di Mina), dan penggunaan visa non-Haji
menjadi isu penting dalam perspektif fikih manasik. Ketiga hal ini dibahas secara
komprehensif oleh Dr. Imron Rosyadi, M.Ag., yang menegaskan pentingnya ketaatan
terhadap syariat dan peraturan negara tuan rumah.
Menurut Imron, praktik
penggunaan visa non-Haji untuk berhaji, meskipun sah dari sisi rukun dan syarat
haji, tetap dinilai berdosa karena menyalahi aturan pemerintah Arab Saudi. Ia
menegaskan bahwa tindakan tersebut bertentangan dengan prinsip maqashid syariah
dan mencederai keadilan dalam penyelenggaraan ibadah haji.
"Perbuatan ini
menyalahi aturan negara, melanggar tertib penyelenggaraan ibadah, dan dapat
merugikan jamaah lain. Dari aspek fikih, haji seperti ini sah, tetapi berdosa
karena menimbulkan mafsadah (kerusakan)," jelasnya, Selasa (20/5).
Terkait praktik murur,
yakni hanya sekadar melintas di Muzdalifah tanpa bermalam, Imron menyatakan
bahwa hal ini hanya dibolehkan bagi mereka yang memiliki udzur syar’i, seperti
lansia, sakit, atau alasan keselamatan. Namun, sebagai bentuk kehati-hatian,
jamaah tetap dianjurkan membayar dam ihtiyathi.
Sedangkan fenomena tanazul
di Mina, di mana jamaah meninggalkan lokasi mabit untuk kembali ke hotel demi
kenyamanan pribadi, hal tersebut tidak dibenarkan secara fikih.
"Jika tidak ada
alasan syar’i, seperti sakit atau kondisi darurat, maka tanazul ini tidak
memenuhi kewajiban mabit dan wajib mengganti dengan dam," tegasnya.
Pembahasan tersebut
disampaikan dalam Kajian Tarjih Online Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS)
yang digelar secara daring melalui platform Zoom Meeting pada Selasa (14/5).
Kajian ini menjadi ruang edukatif bagi sivitas akademika UMS dalam memahami
dinamika pelaksanaan ibadah haji masa kini.
Imron, yang juga dosen
Fakultas Agama Islam (FAI) UMS, menekankan pentingnya menyeimbangkan antara
pemahaman fikih dan konteks kekinian. Ia menambahkan, Majelis Tarjih
Muhammadiyah membuka ruang ijtihad dalam hal-hal baru, tetapi tetap berpegang
teguh pada prinsip-prinsip syariat.
“Harapannya, pemahaman
yang benar dapat meminimalisasi pelanggaran dan membantu jamaah dalam
melaksanakan ibadah secara sah dan mabrur,” pungkasnya.
0 Komentar