Ticker

6/recent/ticker-posts

Redenominasi Rupiah Belum Mendesak: Guru Besar UMS Nilai Wacana Kemenkeu Hanya Testing The Water

Guru Besar Ekonomi Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), Prof. Dr. Anton Agus Setyawan, S.E., M.Si. Foto: Ist.  

SOLO - Wacana redenominasi kembali mencuat ke publik setelah Kementerian Keuangan mengumumkan rencana untuk merampingkan nilai nominal mata uang rupiah dengan menghapus tiga angka nol. 

Guru Besar Ekonomi Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), Prof. Dr. Anton Agus Setyawan, S.E., M.Si menilai kebijakan tersebut belum terlalu mendesak. Redenominasi merupakan kebijakan pengurangan digit pada mata uang tanpa mengurangi nilai riilnya. 

Misalnya, nominal Rp1.000 menjadi Rp1, Rp10.000 menjadi Rp10, dan seterusnya. Menurut Anton, tujuan redenominasi adalah menyederhanakan sistem pencatatan akuntansi dan mempermudah transaksi.

"Alasan pemerintah adalah memudahkan sistem akuntansi dan pencapaian sebenarnya. Nah, itu kalau redenominasi, redenominasi kan maksudnya seperti itu," terangnya, Minggu (16/11/2025).

Wacana ini bukan hal baru. Rencana redenominasi pertama kali dilontarkan Bank Indonesia sejak tahun 2013. Namun, agenda tersebut sempat terhenti. Ia mengaku terkejut karena kini pengusulan justru datang dari Kementerian Keuangan. 

“Saya nggak tahu kok sekarang justru pengusulannya dari Kementerian Keuangan ya," ucapnya.

Anton menilai, dalam sistem moneter, hanya otoritas seperti Bank Indonesia yang memiliki data dan kapasitas untuk menghitung dampaknya, terutama terkait jumlah uang beredar (M0). Ia juga mengaitkan perkembangan isu ini dengan pengamatan reaksi pasar khususnya pada efek psikologis.

Menurutnya, pernyataan dari Menteri Keuangan Purbaya menjadi semacam testing the water. Artinya melihat reaksi pasar terlebih dahulu dengan indikator Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG). 

"Kalau nanti IHSG-nya terganggu atau rupiah melemah berarti ya nggak jadi (diterapkan)," ujar Anton.

Ia menilai, dampak redenominasi yang sulit diprediksi adalah efek psikologis dari masyarakat, terutama sentimen negatif dan sentimen positif. Keberhasilan redenominasi dan kebijakan lainnya sangat bergantung pada kepercayaan masyarakat.

Selain sentimen psikologis, perubahan sistem akan membutuhkan biaya yang mahal. Melihat akan diperlukannya pembaruan software yang memakan biaya dan penyesuaian pencatatan dan penghitungan. 

"Daripada energinya habis buat itu, kenapa enggak buat pemerintah misalnya menggunakan energinya untuk memperbaiki hal-hal yang lebih substansial," kata Anton.

Ia belum melihat peluang dari penerapan kebijakan redenominasi. Justru Anton mendorong pemerintah untuk fokus dengan kebijakan-kebijakan yang telah diterapkan seperti paket stimulus ekonomi, magang untuk sarjana baru, dan program Makan Bergizi Gratis (MBG).

Ketika ditanya urgensi dari redenominasi, Anton menegaskan bahwa redenominasi rupiah sama sekali tidak urgen. Masih banyak pekerjaan rumah yang perlu dilakukan jika ingin mencapai target pertumbuhan ekonomi. Ia mendorong pemerintah untuk fokus dengan target yang telah dipikirkan dan direncanakan.

“Itu jauh lebih penting daripada mengurusi redenominasi,” kata Anton.

Tetapi Anton menyebut kepercayaan market dan masyarakat pada pemerintah, stabilitas ekonomi, dan teknis atau sistem, menjadi prasyarat kebijakan. Selain itu diperlukan kesiapan dari entitas moneter, sektor swasta, dan pasar keuangan.

"Tiga ini kan nggak gampang, untuk saya sendiri nggak bisa prediksi apakah itu tadi bisa dilakukan. Mengharapkan stabilitas ekonomi itu harga yang mahal. Dunianya sudah nggak kayak gitu,” tutur Anton.

Posting Komentar

0 Komentar