SOLO - Ema Lisa Febri Yani, seorang mahasiswa program
studi Teknik Kimia Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) berkesempatan
menjadi delegasi dalam forum internasional International Smallholders Workshop
(ISW) 2025. Forum yang diselenggarakan oleh Council of Palm Oil Producing
Countries (CPOPC) ini berlangsung di Johor Bahru, Malaysia, pada tanggal 2
hingga 3 Mei 2025.
Keikutsertaan Ema dalam
forum tersebut memberikan wawasan mendalam terkait praktik replanting atau
peremajaan kelapa sawit. Sebagai anggota Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia
(APKASINDO), Ema mengaku antusias mengikuti diskusi tersebut. Ia mengungkapkan
latar belakangnya sebagai anak petani kelapa sawit di Riau, di mana hasil
perkebunan inilah yang menghidupi keluarganya sejak ia lahir. Ibunya pun pernah
aktif di APKASINDO, yang semakin mendorong ketertarikan Ema pada isu ini.
"Makanya aku
bener-bener tertarik ikut andil kegiatan itu, apalagi isu sekarang itu banyak
pemuda ngga mau terjun di perkebunan jadi petani. Mereka itu gengsi jadi petani
karena menganggap praktik-praktik tani sudah kuno gitu," ujar Ema pada
Rabu (14/5/2025).
Pada hari pertama forum,
Ema mengikuti workshop yang menghadirkan pemateri dari Indonesia dan Malaysia,
dua negara produsen kelapa sawit terbesar di dunia. Badan Pengelola Dana
Perkebunan (BPDP) mewakili Indonesia menyampaikan tantangan dalam menerapkan
peremajaan kelapa sawit di Tanah Air. Sementara itu, Malaysia Palm Oil Board
(MOPB) memaparkan isu serupa dalam konteks Malaysia.
Hari kedua diisi dengan
demonstrasi lapangan di Johor Plantation Group. Para delegasi dari delapan
negara berkesempatan melihat langsung penerapan Good Agriculture Practice (GAP)
dalam perkebunan kelapa sawit. Ema, yang merupakan penerima beasiswa dari BPDP,
menyaksikan bagaimana teknologi canggih telah diterapkan, mulai dari pemanenan,
pemupukan, hingga pemetaan lahan menggunakan drone dan integrasi sprayer dalam
pembibitan.
"Sudah pakai
teknologi canggih semua," kata Ema.
Meskipun menyadari
kemajuan pengelolaan kelapa sawit di Indonesia, Ema menyoroti keterbatasan
biaya yang menghambat petani kecil dalam mengadopsi teknologi seperti traktor.
"Sehingga kita
sebagai anak muda, karena aku udah belajar dari sana, ngajak temen-temen nih
terkait inovasi bagaimana caranya kita bisa buat teknologi yang ramah atau bisa
digunakan oleh petani kecil," harapnya.
Dalam forum tersebut, Ema
juga bertukar pengalaman dengan delegasi dari negara lain, termasuk Papua
Nugini yang menghadapi kendala legalitas lahan akibat perselisihan adat serta
dampak perang dagang AS-Tiongkok terhadap ekspor sawit mereka. Berbeda dengan
Indonesia yang mayoritas hasil sawitnya untuk pasar domestik, delegasi Papua
Nugini berharap dapat belajar dari Indonesia dan Malaysia untuk memajukan
perkebunan di negaranya.
Sekembalinya dari forum
internasional ini, Ema memiliki harapan besar agar generasi muda terus
berinovasi untuk menciptakan teknologi yang terjangkau bagi petani kecil dan
mengamalkan ilmu yang didapat di bangku kuliah kepada masyarakat.
"Harapanku buat para
pemuda itu jangan gengsi untuk terjun di perkebunan. Kemudian ilmu yang kita
dapatkan di bangku perkuliahan, ketika kita pulang bisa kita praktikkan kepada
masyarakat sekitar kita," pungkasnya, seraya mendorong generasi muda untuk
terus berbagi ilmu meskipun tidak langsung diterapkan, dengan harapan dapat
mengubah pola pikir masyarakat.
0 comments:
Posting Komentar