Kamis, 15 Mei 2025

Ema Lisa, mahasiswa Teknik Kimia UMS yang menjadi delegasi pada forum International Smallholders Workshop 2025. Foto: Ist.


SOLO - Ema Lisa Febri Yani, seorang mahasiswa program studi Teknik Kimia Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) berkesempatan menjadi delegasi dalam forum internasional International Smallholders Workshop (ISW) 2025. Forum yang diselenggarakan oleh Council of Palm Oil Producing Countries (CPOPC) ini berlangsung di Johor Bahru, Malaysia, pada tanggal 2 hingga 3 Mei 2025.

 

Keikutsertaan Ema dalam forum tersebut memberikan wawasan mendalam terkait praktik replanting atau peremajaan kelapa sawit. Sebagai anggota Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO), Ema mengaku antusias mengikuti diskusi tersebut. Ia mengungkapkan latar belakangnya sebagai anak petani kelapa sawit di Riau, di mana hasil perkebunan inilah yang menghidupi keluarganya sejak ia lahir. Ibunya pun pernah aktif di APKASINDO, yang semakin mendorong ketertarikan Ema pada isu ini.

 

"Makanya aku bener-bener tertarik ikut andil kegiatan itu, apalagi isu sekarang itu banyak pemuda ngga mau terjun di perkebunan jadi petani. Mereka itu gengsi jadi petani karena menganggap praktik-praktik tani sudah kuno gitu," ujar Ema pada Rabu (14/5/2025).

 

Pada hari pertama forum, Ema mengikuti workshop yang menghadirkan pemateri dari Indonesia dan Malaysia, dua negara produsen kelapa sawit terbesar di dunia. Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP) mewakili Indonesia menyampaikan tantangan dalam menerapkan peremajaan kelapa sawit di Tanah Air. Sementara itu, Malaysia Palm Oil Board (MOPB) memaparkan isu serupa dalam konteks Malaysia.

 

Hari kedua diisi dengan demonstrasi lapangan di Johor Plantation Group. Para delegasi dari delapan negara berkesempatan melihat langsung penerapan Good Agriculture Practice (GAP) dalam perkebunan kelapa sawit. Ema, yang merupakan penerima beasiswa dari BPDP, menyaksikan bagaimana teknologi canggih telah diterapkan, mulai dari pemanenan, pemupukan, hingga pemetaan lahan menggunakan drone dan integrasi sprayer dalam pembibitan.

 

"Sudah pakai teknologi canggih semua," kata Ema.

 

Meskipun menyadari kemajuan pengelolaan kelapa sawit di Indonesia, Ema menyoroti keterbatasan biaya yang menghambat petani kecil dalam mengadopsi teknologi seperti traktor.

 

"Sehingga kita sebagai anak muda, karena aku udah belajar dari sana, ngajak temen-temen nih terkait inovasi bagaimana caranya kita bisa buat teknologi yang ramah atau bisa digunakan oleh petani kecil," harapnya.

 

Dalam forum tersebut, Ema juga bertukar pengalaman dengan delegasi dari negara lain, termasuk Papua Nugini yang menghadapi kendala legalitas lahan akibat perselisihan adat serta dampak perang dagang AS-Tiongkok terhadap ekspor sawit mereka. Berbeda dengan Indonesia yang mayoritas hasil sawitnya untuk pasar domestik, delegasi Papua Nugini berharap dapat belajar dari Indonesia dan Malaysia untuk memajukan perkebunan di negaranya.

 

Sekembalinya dari forum internasional ini, Ema memiliki harapan besar agar generasi muda terus berinovasi untuk menciptakan teknologi yang terjangkau bagi petani kecil dan mengamalkan ilmu yang didapat di bangku kuliah kepada masyarakat.

 

"Harapanku buat para pemuda itu jangan gengsi untuk terjun di perkebunan. Kemudian ilmu yang kita dapatkan di bangku perkuliahan, ketika kita pulang bisa kita praktikkan kepada masyarakat sekitar kita," pungkasnya, seraya mendorong generasi muda untuk terus berbagi ilmu meskipun tidak langsung diterapkan, dengan harapan dapat mengubah pola pikir masyarakat.

 

0 comments:

Posting Komentar