SOLO - Status hukum anak asuh kembali menjadi sorotan dalam perspektif Islam. Meski diasuh layaknya anak sendiri, anak angkat atau anak asuh yang tidak memiliki hubungan darah tetap tidak otomatis berstatus mahram.
Hal ini ditegaskan oleh pakar tafsir UMS, Ust. Dr. Imron Rosyadi, M. Ag., yang menyebut pentingnya memahami batasan syariat agar tidak keliru memperlakukan anak asuh. Kajian ini disampaikan dalam forum Kajian Tarjih Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) yang digelar secara daring oleh Direktorat Sumber Daya Manusia dan Organisasi (DSDMO) UMS.
Kegiatan tersebut rutin diikuti oleh dosen, tenaga kependidikan, karyawan, dan sivitas akademika untuk memperluas wawasan keislaman terkait isu-isu kontemporer.
Menurut Imron, Al-Qur’an telah memberikan ketegasan bahwa nasab tidak bisa dipindahkan hanya dengan adopsi. Ia merujuk firman Allah dalam QS. Al-Ahzab [33]: 5, “Panggillah mereka (anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; itulah yang lebih adil di sisi Allah...”
“Ayat ini menegaskan bahwa anak angkat tetap harus dinisbatkan pada orang tua kandungnya,” terang Imron, Jumat (21/8/2025).
Ia menambahkan, dalam Islam keharaman menikah atau status mahram hanya ditetapkan melalui tiga jalur: nasab, persusuan, dan pernikahan (mushaharah). Dasar ini juga tercantum dalam QS. An-Nisa [4]: 23 yang menjelaskan secara rinci siapa saja yang masuk kategori mahram.
“Dengan dalil tersebut, jelas bahwa anak angkat tidak serta merta menjadi mahram. Orang tua asuh wajib menjaga adab interaksi sebagaimana dengan orang lain yang bukan mahram,” tambahnya.
Meski demikian, Islam membuka kemungkinan adanya hubungan mahram bila terjadi penyusuan saat bayi. Artinya, ibu asuh yang menyusui anak angkatnya sejak bayi akan otomatis berstatus mahram bagi anak tersebut. Sebaliknya, jika tidak ada hubungan nasab maupun persusuan, maka anak angkat diposisikan sebagai orang luar dalam hukum mahram.
Imron menekankan, pengasuhan anak tetap menjadi amal mulia yang sangat dianjurkan Islam, terutama terhadap anak yatim dan terlantar. Namun, orang tua asuh wajib memahami batasan syariat, termasuk soal aurat dan pergaulan di dalam rumah tangga.
“Mengasuh anak adalah ibadah besar, tetapi jangan sampai menyalahi hukum Islam,” ujarnya.
Ia juga mengingatkan agar orang tua asuh memberikan pendidikan agama yang memadai. Hal ini penting agar anak memahami status dirinya di tengah keluarga asuh dan tidak keliru dalam menyikapi hubungan sosial maupun hukum syariat.
Fenomena adopsi atau pengasuhan anak yang kian marak di masyarakat modern menurutnya harus diimbangi dengan pemahaman fikih yang tepat. Tanpa kesadaran hukum syariat, orang tua asuh bisa saja terjebak dalam kesalahan yang berdampak pada aurat maupun hubungan keluarga.
“Kesucian hubungan laki-laki dan perempuan adalah prinsip utama dalam Islam. Orang tua asuh harus ekstra hati-hati agar tidak terjadi pelanggaran syar’i dalam membina keluarga,” pungkasnya.
0 comments:
Posting Komentar